Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
Perguliran era reformasi ternyata belum memberikan hasil positif pada kehidupan berbangsa di Indonesia. Fenomena kemiskinan saat ini kembali menghantui pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Tahun 1996 persentase penduduk miskin menjadi 11%. Menurut BPS (SMERU, 2002), pada bulan Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sedangkan data terbaru Biro Pusat Statistik menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia per November 2006 menunjukkan 39,05 juta jiwa (17,76%) berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2006). Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 109 juta jiwa (49,5%) apabila dihitung berdasarkan konsumsi per hari US$ 2 (Suruji, 2006). Kedua laporan di atas menunjukkan hasil yang berbeda karena menggunakan parameter kemiskinan yang berbeda. Namun yang menjadi fokus utama bukanlah mempertentangan perbedaan parameter tapi adalah semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut wikipedia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
2.2 Penanggulangan Kemiskinan
Menurut SMERU (2002), ada empat kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan (SMERU, 2002:13). Empat kebijakan tersebut adalah:
1.         Kebijakan dan Program untuk Membuka Peluang atau Kesempatan Bagi Orang Miskin Kebijakan ini diarahkan pada pembukaan peluang yang seluas-luasnya kepada masyarakat miskin untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat miskin bukan berarti menutup peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Justru aktivitas ekonomi yang yang pertama kali bangkit dari keterpurukan akibat krisis adalah sektor informal yang dijalankan masyarakat miskin. Contoh programnya antara lain adalah: penyediaan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin, sarana dan prasarana pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembentukan modal, dan lain-lain.
2.         Kebijakan dan Program untuk Memberdayakan Kelompok Miskin Pemberdayaan dilaksanakan dengan pembukaan akses bagi masyarakat miskin untuk terlibat tidak hanya pada bidang ekonomi. Kemiskinan memiliki aspek yang sangat luas dan tidak hanya ekonomi sehingga penanggulangannya harus bersifat multidimensi. Politik, sosial, hukum dan kelembagaan adalah bidang-bidang yang bersentuhan dan menentukan kehidupan masyarakat miskin sehingga aksesibilitas masyarakat terhadap lembaga-lembaga tersebut dapat mendorong masyarakat untuk memberdayakan diri. Contoh programnya antara lain: penguatan pengelolaan kelompok atau organisasi sosial, keterlibatan kelompok miskin dalam proses pendidikan demokrasi, dan lain-lain.
3.          Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin Masyarakat miskin sangat rentan terhadap terjadi goncangan internal maupun eksternal. Kematian, sakit, bencana alam atau konflik sosial bisa berakibat pada semakin terpuruknya masyarakat dalam kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan jaminan atau ketahanan masyarakat miskin terhadap krisis akibat goncangan yang terjadi. Kebijakan ini diarahkan untuk mengurangi penyebab terjadinya goncangan, memperkuat masyarakat miskin sehingga tahan dalam menghadapi goncangan, dan penciptaan jaminan sosial dalam masyarakat.
4.         Kebijakan dan Program untuk Memutus Pewarisan Kemiskinan Antar Generasi
Hak anak dan peranan perempuan Perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling lemah dalam keluarga miskin. Peran domestik menyebabkan kurangnya akses dan keterlibatan terhadap kondisi di luar lingkungan rumahnya. Pemberdayaan dan keterlibatan pada kegiatan di luar wilayah domestik akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan anak sehingga tidak semakin terpuruk dalam lingkaran kemiskinan. Contoh programnya antara lain: pemberian bantuan sarana pendidikan untuk sekolah di daerah miskin dan beasiswa kepada anak-anak miskin, pemberian makanan tambahan, pemberdayaan perempuan melalui kegiatan produktif, dan lain-lain (SMERU, 2002:13-17).
Usaha Kecil/Mikro
Penanggulangan kemiskinan melalui usaha kecil/mikro menjadi bagian dari kebijakan yang bertujuan untuk membuka peluang dan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk secara luas berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Usaha mikro menurut lembaga-lembaga internasional adalah usaha non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal 10 orang, menggunakan teknologi sederhana atau tradisional, memiliki keterbatasan akses terhadap kredit, mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung beroperasi di sektor informal (SMERU Online, 2006). Sedangkan menurut Bank Indonesia, usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun (Bank Indonesia, 2005). Definisi usaha mikro yang dikemukakan oleh Bank Indonesia mencerminkan omzet maksimal dari sebuah usaha mikro. Definisi tersebut juga bisa berarti bahwa usaha yang memiliki hasil penjualan mencapai Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) pun termasuk usaha mikro.
Usaha kecil/mikro yang berkembang dalam masyarakat beromzet kecil sehingga dikategorikan sebagai sektor informal. Meskipun informal, sektor ini mampu menggerakkan perekonomian dan menjadi sektor yang pertama kali bangkit akibat krisis (Wijono, 2005:86). Kondisi ini masuk akal karena sektor inilah yang menjadi tulang punggung perekonomian rakyat (SMERU, 2002:4). Kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04 persen dan tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang (BPS, 2005).
Keberhasilan sektor informal yang dimotori oleh usaha kecil mikro untuk bangkit dari krisis bukannya tanpa kendala. Kendala utama yang dihadapi oleh adalah aspek permodalan. Kecilnya omzet yang dimiliki oleh usaha mikro mengakibatkan peningkatan modal usaha juga berjumlah kecil. Usaha mikro juga jarang yang memiliki badan hukum sehingga kurang memiliki kekuatan pada aspek kelembagaan. Dua alasan ini menjadi penghambat serius untuk mengembangkan usaha mikro. Lembaga-lembaga keuangan formal pada umumnya memperlakukan UKM sama dengan Usaha Menengah dan Besar dalam setiap pengajuan pembiayaan, yang antara lain mencakup kecukupan jaminan, modal, maupun kelayakan usaha (Wijono, 2005:86).
Di samping itu, apabila berhasil memperoleh kredit untuk pengembangan usaha, usaha mikro harus mengembalikan dengan jumlah yang besar dan tidak sebanding dengan nilai kredit yang diangsur. Kondisi terjadi karena ketiadaan badan hukum mengakibatkan tingginya resiko untuk memberikan pinjaman pada usaha mikro. Lembaga-lembaga keuangan formal cenderung menetapkan bunga tinggi untuk kredit tanpa agunan.
Aspek administrasif dan waktu yang lama untuk pengajuan aplikasi kredit terkadang juga menjadi masalah tersendiri bagi pengusaha kecil. Masyarakat miskin sering mengabaikan ketentuan administratif karena menganggap urusan tersebut kadang berbiayai tinggi (misal: keharusan ada Kartu tanda penduduk atau surat keterangan usaha dari pejabat di daerah setempat). Pengurusan aplikasi kredit yang memakan waktu juga dihindari karena meninggalkan usaha untuk pengajuan aplikasi berarti harus meninggalkan peluang untuk mendapatkan pembeli. Solusi yang diambil oleh pengusaha mikro adalah mengambil kredit dari rentenir karena kendala-kendala pengajuan kredit tidak ditemui dan berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan formal. Di samping rentenir, usaha mikro bisa juga meminjam kepada Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Namun sebaran LKM masih terbatas dan belum memiliki daya jangkau yang luas secara geografis.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan di manapun adalah masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan. Pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia harus saling bekerja sama untuk mengentaskan masalah kemiskinan tersebut. Terutama pemerintah Indonesia sendiri sebagai yang pengatur dari perekonomian Negara ini senantiasa harus memikirkan dan segera mengentaskan kemiskinan yang masih terjadi di negara kita ini. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain menetapkan kebijakan dan program-program seperti memberikan perhatian khusus kepada perkembangan usaha kecil/mikro yang merupakan salah satu roda penggerak perekonomian negara ini.
BAB IV
STUDY KASUS
Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap Tinggi. Ketika program subsidi langsung tunai (SLT) berakhir, banyak yang menduga angka kemiskinan meningkat di 2007. Bank Dunia, misalnya, pada laporan World Bank East Asia Update yang dilansir November 2006, memperkirakan angka kemiskinan tahun depan akan meningkat setelah berakhirnya program SLT.
“Program Subsidi Tunai Bersyarat yang akan dimulai tahun depan akan terlalu kecil untuk meredam dampak berakhirnya SLT,” kata laporan itu.
Kajian Tim Indonesia Bangkit lebih kritis lagi. Gabungan pengamat ekonomi di tim itu menilai angka kemiskinan pasti meningkat di tahun ini mengingat daya beli rakyat yang terus merosot. Lalu karena berakhirnya SLT, dan tak terkendalinya harga kebutuhan pokok seperti kenaikan harga beras dan minyak goreng serta banjir di beberapa daerah.
“Angka kemiskinan hanya akan turun dengan dua kemungkinan, melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan. Kedua, melakukan perubahan atau pembersihan sampel data, yang merupakan cara yang sangat vulgar dan manipulatif serta sangat memalukan baik secara moral maupun intelektual,” tutur pengamat ekonomi Imam Sugema. Namun, di luar dugaan angka kemiskinan justru turun 2,13 juta orang dari tahun lalu. Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp 151.997 per kapita per bulan menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi garis kemiskinan karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan pendapatan masyarakat yang berada di garis kemiskinan itu meningkat dibandingkan kenaikan harga bahan pokok. Di samping itu, walau harga beras naik, namun diimbangi dengan digelontorkannya program beras bagi masyarakat miskin. BPS menilai walau pun SLT berakhir tetapi banyak penduduk miskin yang dapat menggunakan duit yang berasal dari SLT untuk bekerja informal. Terkait kemiskinan ini, analisa Bank Dunia menunjukkan, perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin di Indonesia sangat kecil.
Kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, ada tiga ciri menonjol dari kemiskinan di Indonesia. Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan yang setara dengan pendapatan perkapita US$ 1,55 per hari. Sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin, rentan terhadap kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tapi dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar. Serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan dana yang dikucurkan untuk program kemiskinan, dinilai tidak menyentuh langsung ke permasalahan kemiskinan. Anggaran kemiskinan sebesar Rp 54 triliun di 2007 dan Rp 62 triliun di 2008, menurut Imam Sugema, dari nilai Rp 54 triliun itu yang langsung bersentuhan dengan kemiskinan hanya Rp 5 triliun. Meski demikian, walau dari sisi statistik kemiskinan di Indonesia turun, tetapi kenyataannya, kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih tajam.
Besarnya jumlah penduduk miskin itu, karena masih besarnya angka pengangguran di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja, memang disebabkan lambatnya laju ekspansi sektor usaha. Data BPS menunjukkan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 108,13 juta orang atau bertambah 174 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta. Dari penambahan angkatan kerja itu, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari tahun ini mencapai 97,58 juta orang. Dengan begitu, jumlah pengangguran di Indonesia masih mencapai 10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun juga, jika pemerintah masih belum mampu menggerakkan sektor riil, maka pengangguran masih akan membengkak karena angkatan kerja terus bermunculan dan jumlah penduduk yang belum bisa diatasi seperti terlihat pada data periode Maret 2006 populasi penduduk sebesar 221,328 juta orang menjadi 224,177 juta orang di 2007.
Tugas berat bagi pemerintah saat ini maupun pemerintah yang selanjutnya memang mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara ini tidak lagi terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai melainkan menjadi satu untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran ini.
Read More

Upah Minimum Kabupaten (UMK) Lumajang Tahun 2012



Dasar Hukum :
  1. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 81 Tahun 2011 tanggal 20 Nopember 2011 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2012.
  2. Surat Edaran Bupati Lumajang Nomor : 560/1144/427.40/2011 tanggal 22 November 2011 tentang Upah Minimum Kabupaten (UMK) Lumajang tahun 2012.
Dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Bahwa terhitung mulai tanggal : 1 Januari 2012 Upah Minimum Kabupaten Lumajang sebesar Rp. 825.391/bulan, sedangkan perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketetapan Upah Minimum Kabupaten yang ditetapkan dalam keputusan ini, dilarang mengurangi atau menurunkan upah tersebut.
  2. Bahwa bagi perusahaan yang tidak mampu membayar UMKab sebesar Rp. 825.391/bulan dapat mengajukan permohonan penangguhan melalui Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi Dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur sesuai dimaksud pada pasal 90 (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003, Jo Kepmenakertrans RI No. 231/MEN/2003. Apabila sampai batas waktu tanggal 22 Desember 2011 belum mengajukan permohonan penangguhan, perusahaan dianggap mampu dan wajib melaksanakan UMKab yang baru.
  3. Bahwa bagi perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan UMKab sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 81 Tahun 2011, tanggal 20 Nopember 2011, maka sesuai pasal 185 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah), paling banyak Rp. 400.000.000 ( Empat Ratus Juta Rupiah ) dan merupakan tindak pidana kejahatan.

Read More

Program Perbaikan Gizi Masyarakat di Puskesmas



Program Perbaikan Gizi Masyarakat  adalah salah satu  program pokok Puskesmas  yaitu program kegiatan yang meliputi peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yaodium (GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan zat gizi lebih, Peningkatan Survailans Gizi, dan Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat.
Kegiatan-kegiatan program ini ada yang dilakukan  harian,  bulanan, smesteran (6 bulan sekali) dan tahun ( setahun sekali) serta beberapa kegiatan  investigasi dan intervensi yang dilakukan setiap saat jika ditemukan masalah gizi misalnya ditemukan adanya kasus gizi buruk.  Kegiatan program Perbaikan Gizi Masyarakat dapat dilakukan dalam maupun di luar gedung Puskesmas.

Kegiatan Program Gizi Harian

Kegiatan program gizi yang dilakukan harian adalah
  1. Peningkatan pemberian ASI Eksklusif adalah Pemberian ASI tampa makanan dan minuman lain pada bayi  berumur nol sampai dengan 6 bulan
  2. Pemberian MP-ASI anak umur  6- 24 bulan adalah pemberian  makanan pendamping ASI pada anak usia  6-24 bulan dari keluarga miskin selama 90 hari.
  3. Pemberian tablet besi (90 tablet) pada ibu hamil adalah pemberian tablet besi (90 tablet) selama masa kehamilan.
  4. Pemberian PMT pemulihan pada Keluarga Miskin adalah balita keluarga miskin yang ditangani di sarana pelayanan kesehatan sesuai tatalaksana gizi di wilayah puskesmas
  5. Kegiatan  investigasi dan intervensi yang dilakukan setai saat jika ditemukan masalah gizi  misalnya ditemukan adanya kasus gizi buruk.

Kegiatan Program Gizi Bulanan

Kegiatan Progrogram Giai Bulanan yang dilakukan bulanan adalah
  1. Pemantauan Pertumbuhan Berat Badan Balita ( Penimbangan Balita) adalah  pengukuran berat badan balita untuk mengetahui  pola pertumbuhan dan perkembangan berat badan balita.
  2. Kegiatan konseling gizi dalam rangka peningkatan pendidikan gizi dan Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan setiap smester ( 6 bulan sekali)  adalah Pemberian Kapsul  Vitamin A (Dosis 200.000 SI) pada balita adalah  pemberian  kaspusl vitamin A dosis tinggi kepada bayi dan anak balita secara periodik yaitu untuk bayi diberikan  setahun sekali  pada bulan Februari dan Agustus dan untuk anak balita enam bulan sekali dan secara serentak  dalam bulan Februari dan Agustus
Kegiatan Program Gizi Tahunan
Kegiatan yang dilakukan setiap tahun ( setahun sekali adalah)
  1. Pemantauan Status Gizi balita
  2. Pemantaun konsumsi gizi
  3. Pemantauan penggunaan garam beryodium
Pelaksana program Gizi di Puskesmas dilakukan oleh  tenaga gizi berpendidikan  D1 (Asisten Ahli Gizi) dan DIII (Ahli Madya Gizi)  serta S1/D4 Gizi (Sarjana Gizi)  yang khusus dipersiapkan  atau mahir dalam Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat  atau sebagai tenaga profesinal di bidang gizi.  Pelaksana Program Gizi dapat juga dilakukan oleh tenaga kesehatan lain yang telah dilatih dalam pelaksanaan program gizi puskesmas.

Jenis Pelatihan Tenaga Gizi

Beberapa jenis pelatihan bagi petugas gizi puskesmas adalah
  1. Pelatihan konseling ASI
  2. Pelatihan Pemantauan Pertumbuhan Balita
  3. Pelatihan Konseling MP-ASI
  4. Pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk
  5. Pelatihan pengelolaan Program Gizi Puskesmas
  6. Dan beberapa pelatihan gizi lainnya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam melaksanakan program gizi di masyarakat.

Pedoman Program Gizi

Pedoman-pedoman yang harus dimiliki oleh seorang petugas gizi Puskesmas adalah
  1. Buku Surveilans Gizi
  2. Buku Pegangan Kader Posyandu
  3. Buku Manajemen pemberian Vitamin A
  4. Buku Manajemen Pemberian Tablet Fe
  5. Buku Pedoman Pemberian ASI
  6. Buku Pedoman MP-ASI
  7. Buku Pedoman Pemberian Garam Beryodium
  8. Buku Standar Pemantauan Pertumbuhan Berat Badan Balita
  9. Buku Pengelolaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (ASI untuk usia 6-24 bulan.
Buku-buku pedoman ini telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, juga telah dikembangkan oleh  Dinas Kesehatan Propinsi bahkan agar lebih operasional  buku-buku tersebut telah juga dikembangkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pengawasan, evaluasi dan bimbingan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/kota biasanya dilakukan dalam bentuk  sebagai berikut :
  1. Kunjungan Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/kota untuk melakukan supervisi atau bimbingan tehnis program gizi pada setiap tahunnya.
  2. Umpan balik Laporan (feedbeck) laporan cakupan selama setahun dari Dinas Kesehatan kabupaten /kota dari  laporan rekapitulasi puskesmas  yang dikirm setiap bulan di Dinas Kabupaten/kota.
  3. Pertemuan monitoring dan evaluasi program gzi ditingkat Kabupaten /kota.
Beberapa Output dari program Gizi masyarakat yang dilaksanakan di Puskesmas  diperoleh dari  buku register  (pencatatan)   setiap kegiatan yang kemudian dibuatkan laporan  per posyandu atau setiap unit pelayanan gizi,  direkapitulasi menjadi perdesa dan selanjutnya dikirim ke  Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dalam bentuk laporan bulanan, smester dan tahunan. Setiap laporan dapat  memberikan gambaran tempat, waktu, person (sasaran).
Jumlah sasaran (person)  biasanya  dibuat atau telah disepakati/ditetapkan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota atau sumber  yang telah ada di Puskesmas  sebagai hasil dari pendataan sasaran program.

Output Program Gizi

Beberapa Output dari Program Gizi adalah
  1. Jumlah anak usia 6-24 bulan dari keluarga miskin yang mendapat MP-ASI
  2. Jumlah Balita yang memiliki KMS, jumlah balita yang ditimbang, Naik Berat Badannya termasuk juga Balita dengen Berat Badan dibawah Garis Merah (BGM) pada KMS
  3. Jumlah Balita mendapatkan Kapsul Vitamin A
  4. Jumlah Balita mendapatkan tablet F3 dengan 90 tablet selama kehamilan.
  5. Gambaran Status Gizi Balita
  6. Gambaran Konsumsi Gizi
  7. Gambaran penggunaan Garam Beryodium
  8. Laporan hasil Investigas dan Intervensi Gizi buruk. Dan beberapa laporan lainnya.
Demikian Program Gizi Masyarakat di Puskesmas  yang fungsi utama pelaksanannya adalah mempersiapkan, memelihara dan mempertahakan agar setiap orang —- terutama kelompok rawan ibu hamil, bayi, ibu menyusui, anak balita ——– mempunyai status gizi baik, dapat hidup sehat dan produktif. Fungsi ini dapat terwujud kalau setiap petugas dalam melaksanakan program gizi dilakukan dengan baik dan benar sesuai komponen-komponen yang harus ada dalam program perbaikan gizi masyarakat di Puskesmas.
Read More

Fungsi, Tujuan, dan Jenis PAUD



Pendidikan  anak  usia  dini  adalah  suatu  upaya  pembinaan  yang  ditujukan  kepada anak  sejak  lahir  sampai  dengan  usia  6  (enam)  tahun  yang  dilakukan  melalui pemberian  rangsangan  pendidikan  untuk  membantu  pertumbuhan  dan perkembangan  jasmani  dan  rohani  agar  anak memiliki  kesiapan  dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.


Fungsi dan Tujuan PAUD
Berdasarkan PP 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidiukan, fungsi dan tujuan PAUD diatur dalam Pasal 61. Berikut bunyi lengkapnya:
(1)    Pendidikan anak usia dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya.
(2)    Pendidikan anak usia dini bertujuan:
o    membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
o    mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan social peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.

Bentuk dan Jenis Satuan Pendidikan PAUD
PAUD Jalur Formal (Pasal 62)
(1)   Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat.
(2)   TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki program pembelajaran 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun.
(3)   TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan menyatu dengan SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.

PAUD Jalur Nonformal (Pasal 107)
(1)      Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis.
(2)      Kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis menyelenggarakan pendidikan dalam konteks:
o   bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran agama dan ahlak mulia;
o   bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian;
o   bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran estetika;
o   bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; dan
o   bermain sambil belajar dalam rangka merangsang minat kepada ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3)       Peserta didik kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal yang sejenis dapat dievaluasi perkembangannya tanpa melalui proses yang bersifat menguji kompetensi.

Penerimaan Peserta Didik Pasal 63
Peserta didik TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
Read More

Pedoman/Panduan/Juknis BOS



Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar pelaksana program wajib belajar. Namun demikian dana BOS dimungkinkan untuk membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personalia dan biaya investasi.
Latar Belakang BOS
  • UU No 20 tentang Sisdiknas: Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
  • Wajib Belajar 9 Tahun telah tuntas dengan APK untuk SMP/sederajat sebesar 98,11%
  • PP No 48 tentang Pendanaan Pendidikan secara jelas menjelaskan jenis pendanaan pendidikan dan tanggung-jawab masing-masing tingkatan
Tujuan BOS
Program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Secara Khusus
  • Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasi sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta
  • Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasi sekolah, kecuali pada sekolah bertaraf internasional (SBI) dan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)
  • Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi siswa di sekolah swasta
Sasaran BOS
  • Sasaran program BOS adalah semua sekolah setingkat SD dan SMP (termasuk SMPT), baik negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia.
  • Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari program BOS ini.
Biaya Satuan BOS
  • SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-/siswa/tahun.
  • SD/SDLB di kab : Rp 397.000,-/siswa/tahun.
  • SMP/SMPLB/SMPT di kota: Rp 575.000,-/siswa/tahun.
  • SMP/SMPLB/SMPT di kab : Rp 570.000,-/siswa/tahun.
Biaya satuan ini sudah termasuk untuk BOS Buku
Jenis Biaya Pendidikan
Menurut PP No 48 Tahun 2008:
  • Biaya Satuan Pendidikan: biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
  • Biaya Penyelenggaraan dan/atau Pengelolaan Pendidikan:biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara/satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.
  • Biaya Pribadi Peserta Didik:biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
Biaya Satuan Pendidikan
Terdiri dari:
  • biaya investasi adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sdm, dan modal kerja tetap.
  • biaya operasi, terdiri dari biaya personalia dan biaya nonpersonalia.
  • bantuan biaya pendidikan yaitu dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya
  • beasiswa adalah bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi.
Biaya Personalia dan Nonpersonalia
  • biaya personalia terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji.
  • biaya nonpersonalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dll.
Sekolah Penerima BOS
  • Semua sekolah SD/SDLB/SMP negeri wajib menerima dana BOS. Bila sekolah tersebut menolak BOS maka sekolah dilarang memungut biaya dari peserta didik, orang tua atau wali peserta didik.
  • Semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasional yang tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional atau berbasis keunggulan lokal wajib menerima dana BOS.
  • Bagi sekolah yang menolak BOS harus melalui persetujuan dengan orang tua siswa dan komite sekolah dan tetap menjamin kelangsungan pendidikan siswa miskin di sekolah tersebut.
  • Seluruh sekolah yang menerima BOS harus mengikuti pedoman BOS yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
  • Sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah.
  • Sekolah Negeri yang sebagian kelasnya sudah menerapkan sistem sekolah bertaraf RSBI atau SBI tetap di perbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah, serta menggratiskan siswa miskin.
BOS dan Wajar 9 Tahun Yang Bermutu
  • BOS harus menjadi sarana penting untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan dasar 9 tahun.
  • Melalui BOS tidak boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
  • Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/setara tidak dapat melanjutkan ke SMP/setara dengan alasan mahalnya biaya masuk sekolah.
  • Kepala sekolah mencari dan mengajak siswa SD/setara yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/setara. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah.
  • Kepala sekolah mencari dan mengajak siswa SD/setara yang akan lulus dan berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di SMP/setara. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah.
  • BOS tidak menghalangi peserta didik, orang tua, atau walinya memberikan sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah
Program BOS dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
  • Sekolah mengelola dana secara professional, transparan dan dipertanggung jawabkan.
  • BOS harus menjadi sarana penting peningkatan pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan akses, mutu dan manajemen sekolah.
  • Sekolah harus memiliki Rencana Jangka Menengah yang disusun 4 tahunan.
  • Sekolah harus menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT) dalam bentuk Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS), dimana dana BOS merupakan bagian itegral didalam RKAS tersebut.
  • Rencana Jangka Menengah dan RKAS harus di setujui dalam rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan Komite Sekolah dan disahkan oleh Dinas Pendidikan kab/kota (untuk sekolah negeri) atau yayasan (untuk sekolah swasta). Seluruh peserta rapat ikut menandatangani berita acara persetujuan. Secara rinci diatur dalam Peraturan Mendiknas nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan dasar dan Menengah.
  • BOS tidak menghalangi peserta didik, orang tua, atau walinya memberikan sumbangan sukarela yang tidak mengikat kepada sekolah
Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah
  • Pemerintah dan Pemerintah Daerahbertanggung jawab terhadap  pendanaan biaya investasi dan biaya operasi satuan pendidikan bagi sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah/pemerintah daerah sampai terpenuhinya  Standar Nasional Pendidikan.
  • Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah/pemerintah daerah menjadi bertaraf internasional, selain dari pemerintah atau pemerintah daerah, pendanaan tambahan dapat juga bersumber dari masyarakat, bantuan pihak asing yang tidak mengikat, dan/atau sumber lain yang sah.
  • Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membantu pendanaan biaya non personalia sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Tanggung Jawab Peserta Didik, Orang Tua dan/atau Wali Peserta Didik
  • Biaya pribadi peserta didik, mislnya uang saku/uang jajan, buku tulis dan alat-alat tulis, dan lain sebagainya.
  • Pendanaan sebagian biaya investasi pendidikan dan/atau sebagian biaya operasi pendidikan tambahan yang di perlukan untuk pengembangan menjadi sekolah bertaraf internasional.
Read More