BAB I
PENDAHULUAN
Perguliran era reformasi ternyata belum memberikan hasil positif
pada kehidupan berbangsa di Indonesia. Fenomena kemiskinan saat ini
kembali menghantui pembangunan di Indonesia. Pada tahun 1970, sekitar
68% penduduk Indonesia dikategorikan miskin. Tahun 1996 persentase
penduduk miskin menjadi 11%. Menurut BPS (SMERU, 2002), pada bulan
Agustus 1999 jumlah orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari
total penduduk). Sedangkan data terbaru Biro Pusat Statistik menyebutkan
angka kemiskinan di Indonesia per November 2006 menunjukkan 39,05 juta
jiwa (17,76%) berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2006). Menurut Bank
Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 109 juta jiwa (49,5%)
apabila dihitung berdasarkan konsumsi per hari US$ 2 (Suruji, 2006).
Kedua laporan di atas menunjukkan hasil yang berbeda karena menggunakan
parameter kemiskinan yang berbeda. Namun yang menjadi fokus utama
bukanlah mempertentangan perbedaan parameter tapi adalah semakin
meningkatnya jumlah masyarakat miskin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kemiskinan
Menurut wikipedia Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian ,
tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan
kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah
kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini
secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari
segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan
untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan
sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan
dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang
ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai.
Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian
politik dan ekonomi di seluruh dunia.
2.2 Penanggulangan Kemiskinan
Menurut SMERU (2002), ada empat kebijakan dan program yang bisa
dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan (SMERU, 2002:13). Empat
kebijakan tersebut adalah:
1. Kebijakan dan Program untuk Membuka Peluang atau Kesempatan Bagi Orang Miskin Kebijakan
ini diarahkan pada pembukaan peluang yang seluas-luasnya kepada
masyarakat miskin untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.
Lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat miskin bukan berarti menutup
peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Justru aktivitas ekonomi
yang yang pertama kali bangkit dari keterpurukan akibat krisis adalah
sektor informal yang dijalankan masyarakat miskin. Contoh programnya
antara lain adalah: penyediaan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin,
sarana dan prasarana pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pembentukan
modal, dan lain-lain.
2. Kebijakan dan Program untuk Memberdayakan Kelompok Miskin Pemberdayaan
dilaksanakan dengan pembukaan akses bagi masyarakat miskin untuk
terlibat tidak hanya pada bidang ekonomi. Kemiskinan memiliki aspek yang
sangat luas dan tidak hanya ekonomi sehingga penanggulangannya harus
bersifat multidimensi. Politik, sosial, hukum dan kelembagaan adalah
bidang-bidang yang bersentuhan dan menentukan kehidupan masyarakat
miskin sehingga aksesibilitas masyarakat terhadap lembaga-lembaga
tersebut dapat mendorong masyarakat untuk memberdayakan diri. Contoh
programnya antara lain: penguatan pengelolaan kelompok atau organisasi
sosial, keterlibatan kelompok miskin dalam proses pendidikan demokrasi,
dan lain-lain.
3. Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin
Masyarakat miskin sangat rentan terhadap terjadi goncangan internal
maupun eksternal. Kematian, sakit, bencana alam atau konflik sosial bisa
berakibat pada semakin terpuruknya masyarakat dalam kemiskinan. Hal ini
disebabkan oleh ketiadaan jaminan atau ketahanan masyarakat miskin
terhadap krisis akibat goncangan yang terjadi. Kebijakan ini diarahkan
untuk mengurangi penyebab terjadinya goncangan, memperkuat masyarakat
miskin sehingga tahan dalam menghadapi goncangan, dan penciptaan jaminan
sosial dalam masyarakat.
4. Kebijakan dan Program untuk Memutus Pewarisan Kemiskinan Antar Generasi
Hak anak dan peranan perempuan Perempuan dan anak-anak adalah pihak
yang paling lemah dalam keluarga miskin. Peran domestik menyebabkan
kurangnya akses dan keterlibatan terhadap kondisi di luar lingkungan
rumahnya. Pemberdayaan dan keterlibatan pada kegiatan di luar wilayah
domestik akan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan anak
sehingga tidak semakin terpuruk dalam lingkaran kemiskinan. Contoh
programnya antara lain: pemberian bantuan sarana pendidikan untuk
sekolah di daerah miskin dan beasiswa kepada anak-anak miskin, pemberian
makanan tambahan, pemberdayaan perempuan melalui kegiatan produktif,
dan lain-lain (SMERU, 2002:13-17).
Usaha Kecil/Mikro
Penanggulangan kemiskinan melalui usaha kecil/mikro menjadi bagian
dari kebijakan yang bertujuan untuk membuka peluang dan kesempatan bagi
masyarakat miskin untuk secara luas berpartisipasi dalam pembangunan
ekonomi. Usaha mikro menurut lembaga-lembaga internasional adalah usaha
non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal 10 orang, menggunakan
teknologi sederhana atau tradisional, memiliki keterbatasan akses
terhadap kredit, mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung
beroperasi di sektor informal (SMERU Online, 2006). Sedangkan menurut
Bank Indonesia, usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau
perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam
koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) per tahun (Bank Indonesia, 2005).
Definisi usaha mikro yang dikemukakan oleh Bank Indonesia mencerminkan
omzet maksimal dari sebuah usaha mikro. Definisi tersebut juga bisa
berarti bahwa usaha yang memiliki hasil penjualan mencapai Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) pun termasuk usaha mikro.
Usaha kecil/mikro yang berkembang dalam masyarakat beromzet kecil
sehingga dikategorikan sebagai sektor informal. Meskipun informal,
sektor ini mampu menggerakkan perekonomian dan menjadi sektor yang
pertama kali bangkit akibat krisis (Wijono, 2005:86). Kondisi ini masuk
akal karena sektor inilah yang menjadi tulang punggung perekonomian
rakyat (SMERU, 2002:4). Kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto
rata-rata mencapai 56,04 persen dan tenaga kerja yang diserap oleh UKM
tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang (BPS, 2005).
Keberhasilan sektor informal yang dimotori oleh usaha kecil mikro
untuk bangkit dari krisis bukannya tanpa kendala. Kendala utama yang
dihadapi oleh adalah aspek permodalan. Kecilnya omzet yang dimiliki oleh
usaha mikro mengakibatkan peningkatan modal usaha juga berjumlah kecil.
Usaha mikro juga jarang yang memiliki badan hukum sehingga kurang
memiliki kekuatan pada aspek kelembagaan. Dua alasan ini menjadi
penghambat serius untuk mengembangkan usaha mikro. Lembaga-lembaga
keuangan formal pada umumnya memperlakukan UKM sama dengan Usaha
Menengah dan Besar dalam setiap pengajuan pembiayaan, yang antara lain
mencakup kecukupan jaminan, modal, maupun kelayakan usaha (Wijono,
2005:86).
Di samping itu, apabila berhasil memperoleh kredit untuk
pengembangan usaha, usaha mikro harus mengembalikan dengan jumlah yang
besar dan tidak sebanding dengan nilai kredit yang diangsur. Kondisi
terjadi karena ketiadaan badan hukum mengakibatkan tingginya resiko
untuk memberikan pinjaman pada usaha mikro. Lembaga-lembaga keuangan
formal cenderung menetapkan bunga tinggi untuk kredit tanpa agunan.
Aspek administrasif dan waktu yang lama untuk pengajuan aplikasi
kredit terkadang juga menjadi masalah tersendiri bagi pengusaha kecil.
Masyarakat miskin sering mengabaikan ketentuan administratif karena
menganggap urusan tersebut kadang berbiayai tinggi (misal: keharusan ada
Kartu tanda penduduk atau surat keterangan usaha dari pejabat di daerah
setempat). Pengurusan aplikasi kredit yang memakan waktu juga dihindari
karena meninggalkan usaha untuk pengajuan aplikasi berarti harus
meninggalkan peluang untuk mendapatkan pembeli. Solusi yang diambil oleh
pengusaha mikro adalah mengambil kredit dari rentenir karena
kendala-kendala pengajuan kredit tidak ditemui dan berbeda dengan
lembaga-lembaga keuangan formal. Di samping rentenir, usaha mikro bisa
juga meminjam kepada Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Namun sebaran LKM
masih terbatas dan belum memiliki daya jangkau yang luas secara
geografis.
BAB III
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan di manapun adalah masalah yang sangat sulit
untuk diselesaikan. Pemerintah dan seluruh warga negara Indonesia harus
saling bekerja sama untuk mengentaskan masalah kemiskinan tersebut.
Terutama pemerintah Indonesia sendiri sebagai yang pengatur dari
perekonomian Negara ini senantiasa harus memikirkan dan segera
mengentaskan kemiskinan yang masih terjadi di negara kita ini. Beberapa
usaha yang dapat dilakukan antara lain menetapkan kebijakan dan
program-program seperti memberikan perhatian khusus kepada perkembangan
usaha kecil/mikro yang merupakan salah satu roda penggerak perekonomian
negara ini.
BAB IV
STUDY KASUS
Banyak Program, Namun Kemiskinan Tetap Tinggi. Ketika program
subsidi langsung tunai (SLT) berakhir, banyak yang menduga angka
kemiskinan meningkat di 2007. Bank Dunia, misalnya, pada laporan World
Bank East Asia Update yang dilansir November 2006, memperkirakan angka
kemiskinan tahun depan akan meningkat setelah berakhirnya program SLT.
“Program Subsidi Tunai Bersyarat yang akan dimulai tahun depan akan
terlalu kecil untuk meredam dampak berakhirnya SLT,” kata laporan itu.
Kajian Tim Indonesia Bangkit lebih kritis lagi. Gabungan pengamat
ekonomi di tim itu menilai angka kemiskinan pasti meningkat di tahun ini
mengingat daya beli rakyat yang terus merosot. Lalu karena berakhirnya
SLT, dan tak terkendalinya harga kebutuhan pokok seperti kenaikan harga
beras dan minyak goreng serta banjir di beberapa daerah.
“Angka kemiskinan hanya akan turun dengan dua kemungkinan,
melakukan perubahan dan rekayasa metodologi perhitungan. Kedua,
melakukan perubahan atau pembersihan sampel data, yang merupakan cara
yang sangat vulgar dan manipulatif serta sangat memalukan baik secara
moral maupun intelektual,” tutur pengamat ekonomi Imam Sugema. Namun, di
luar dugaan angka kemiskinan justru turun 2,13 juta orang dari tahun
lalu. Dengan perubahan garis kemiskinan dari Rp 151.997 per kapita per
bulan menjadi Rp 166.697 per kapita per bulan. Besar kecilnya jumlah
penduduk miskin sangat dipengaruhi garis kemiskinan karena penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan di bawah garis kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, kenaikan pendapatan
masyarakat yang berada di garis kemiskinan itu meningkat dibandingkan
kenaikan harga bahan pokok. Di samping itu, walau harga beras naik,
namun diimbangi dengan digelontorkannya program beras bagi masyarakat
miskin. BPS menilai walau pun SLT berakhir tetapi banyak penduduk miskin
yang dapat menggunakan duit yang berasal dari SLT untuk bekerja
informal. Terkait kemiskinan ini, analisa Bank Dunia menunjukkan,
perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin di Indonesia sangat
kecil.
Kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Bank
Dunia menyebutkan, ada tiga ciri menonjol dari kemiskinan di Indonesia.
Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan
yang setara dengan pendapatan perkapita US$ 1,55 per hari. Sehingga
banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin, rentan terhadap
kemiskinan.
Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan sehingga tidak
menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang
mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, tapi dikategorikan
sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar.
Serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia,
perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di
Indonesia.
Sedangkan dana yang dikucurkan untuk program kemiskinan, dinilai
tidak menyentuh langsung ke permasalahan kemiskinan. Anggaran kemiskinan
sebesar Rp 54 triliun di 2007 dan Rp 62 triliun di 2008, menurut Imam
Sugema, dari nilai Rp 54 triliun itu yang langsung bersentuhan dengan
kemiskinan hanya Rp 5 triliun. Meski demikian, walau dari sisi statistik
kemiskinan di Indonesia turun, tetapi kenyataannya, kesenjangan ekonomi
antara yang kaya dan miskin di Indonesia masih tajam.
Besarnya jumlah penduduk miskin itu, karena masih besarnya angka
pengangguran di Indonesia. Tidak terserapnya angkatan kerja, memang
disebabkan lambatnya laju ekspansi sektor usaha. Data BPS menunjukkan,
jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2007 mencapai 108,13
juta orang atau bertambah 174 juta orang dibanding angkatan kerja
Agustus 2006 yang tercatat 106,39 juta. Dari penambahan angkatan kerja
itu, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja pada Februari tahun ini
mencapai 97,58 juta orang. Dengan begitu, jumlah pengangguran di
Indonesia masih mencapai 10,55 juta orang hingga Februari 2007.
Bagaimana pun juga, jika pemerintah masih belum mampu menggerakkan
sektor riil, maka pengangguran masih akan membengkak karena angkatan
kerja terus bermunculan dan jumlah penduduk yang belum bisa diatasi
seperti terlihat pada data periode Maret 2006 populasi penduduk sebesar
221,328 juta orang menjadi 224,177 juta orang di 2007.
Tugas berat bagi pemerintah saat ini maupun pemerintah yang
selanjutnya memang mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Tentu
kita mengharapkan, pemimpin-pemimpin negara ini tidak lagi
terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai melainkan menjadi satu
untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran ini.